Surati Presiden Hingga DPR RI, PDGI Sulselbar Nyatakan Sikap Menolak RUU Kesehatan

oleh -113 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS – Menindak lanjuti penilakan dari Pengurus Besar (PB) PDGI pusat. Maka Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) wilayah Sulselbar, kembali menyerukan sikap penolakannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.

RUU tersebut konon ini dibahas oleh DPR RI dan telah mendapatkan penolakan karena dianggap berpotensi menjadikan liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan terutama untuk hak rakyat.

Pernyataan Sikap PDGI Wilayah Sulselbar terhadap RUU Kesehatan dalam bentuk sepucuk “surat cinta” ditutukan kepada Presiden RI & DPR RI di Jakarta. Tembusan juga kepada PB PDGI.

Bahkan dilampiran pernyataan sikap, ditantangani langsung oleh Ketua PDGI wilayah Sulselbar, Dr. drg. Asdar Gani, dan Sekretaris wilayah drg. Ardiansyah S. Pawinru.

Ketua PDGI wilayah Sulselbar, Dr. drg. Asdar Gani menyampaikan sehubungan dengan sedang berlansungnya pembahasan Rancangan Undang-undang OMNIBUSLAW kesehatan, pihanya menganggap banyak berbeda dengan aspirasi para ketua dan pengurus serta anggota cabang di berbagai daerah.

Setelah pihanya melaksankan dengar pendapat dan pertemuan dengan para ketua cabang , terutama padahal hal sebagai berikut:

Pertama, hilangnya rekomendasi organisasi profesi. Meskipun pada pasal 247 draft RUU yang beredar masih terdapat diktum tentang rekomendasi organisasi profesi untuk penerbitan Surat Izin Praktek.

“Tetapi dalam sosialisasi Kementrian Kesehatan diktum rekomendasi OP dihilangkan, hal ini dirasa tidak sesuai dengan semangat dan fungsi organisasi OP,” ujarnya, dalam pernyataan sikap kepada wartawan, Jumat (7/4/2023).

Lanjutanya, dalam hal ini terkait PDGI sebagai payung dan penjaga etik anggota serta fungsi kontrol dan pengawasan pada anggota bagi mereka yang melanggar kode etik.

Menurutnya, selama ini rekomendasi SIP sangat memperhatikan tentang etika dan kompetensi, fasilitas pelayanan kesehatan serta sebaran praktek dokter gigi. Dan sama sekali tidak berorientasi profit.

“Sebagai informasi bahwa biaya rekomendasi SIP pada cabang di wilayah kami hanya berkisar 100.000 sampai 200.000 untuk 5 tahun,” tuturnya.

Poin kedua, dalam pernyataan dikap PDGI Sulselbar kata dia. Pelaksanaan CPD atau Seminar. Dikatakana, bahwa pada pasal 242 ayat 2, Pelaksanaan CPD atau seminar Kedokteran Gigi akan dilakukan oleh Menteri, organisasi profesi ataupun lembaga lain yang terakreditasi PDGI.

Namun dalam sosialisasi kementrian kesehatan terdapat keinginan kemenkes untuk mengambil alih, padahal pada organisasi profesi mereka yang telah terdapat Lembaga khusus yang disebut Komisi Pendidikan dan Pelatihan Profesionalisme Kedokteran Gigi (P3KGB) untuk melaksanakan, mengawasi, dan mengatur segala yang terkait dengan pelaksanaan CPD sesuai dengan amanat Kongres PDGI.

“Hal ini dimaksudkan bahwa materi dan kualitas pemateri senantiasa terjaga serta berbasis pada kebutuhan anggota serta sesuai dengan kaidah perkembangan ilmu kedokteran gigi,” tuturnya.

Sehingga jika kementrian kesehatan akan mengambil alih fungsi ini, maka dikhawatirkan materi, serta jumlah seminar akan mengalami kemunduran dan penurunan.

Bahkan menimbulkan syak wasangka bahwa kementrian kesehatan berpotensi hanya ingin membuat lembaga bisnis baru, yakni lembaga akreditasi.

Selain itu, Sertifikat Kompetensi dokter gigi dan dokter gigi spesialis Bahwa pada pasal 208 ayat 4, terdapat perubahan lembaga atau institusi yang melaksanakan ujian kompetensi dan menerbitkan sertifikat kompetensi yakni dari Kolegium dokter gigi Indonesia (KDGI) untuk dokter gigi dan Kolegium Dokter Gigi Spesialis untuk dokter gigi spesialisasi tertentu menjadi pemerintah pusat.

“Ini sama sekali tidak memiliki dasar yang subtantif, dan cenderung emosional,” jelasnya dalam pernyataan sikap penolakan RU OMNIBUSLAW Kesehatan.

Sebagai informasi, bahwa Kolegium pada organisasi Profesi menjadi jantung ilmu dan profesioanalitas dari dokter gigi, sebab anggota kolegium terdisri dari guru besar, ketua Departemen, dosen dan ketua program studi PPDGS yang notabene merupakan dosen dalam unversitas yang memiliki Fakultsa Kedoketran gigi atau pun PPDGS.

Serta wakil masyarakat yakni ketua organisasi ataupun dokter gigi yang berpengalaman, Hal ini dimaksudkan agar mutu dan kualitas luaran atau anggota PDGI berbasis pada kompetensi program studi serta berstandar nasional.

“Tujuannya untuk semata mata keamanan pelayanan pasien/masyarakat,” lanjutanya.

Disebutkan, persoalan Hukum bagi tenaga Medis. Setidaknya ada 2 pasal dalam RUU Omnibuslaw Kesehatan yang menjadi sanggahan PDIGI:

Dimana dalam pasal 462 RUU Pidana masih terdapat sanksi pidana bahkan bertambah tuntutan dari 2 tahun menjadi 3 tahun. Padahal di banyak negara, keputusan dan tindakan dokter adalah memiliki hak imunitas sendiri dalam mendiagnosa dan merawat pasien.

Apalagi pada pasal 164 ayat 4 disampaikan kalimat, sampai diperoleh kesembuhan, hal ini sangat bertentangan dengan fungsi dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lainnya.

Sebagai person yang berupaya secara maksimal untuk kesembuhan pasien, bukan kewajiban sampai sembuh terutama pada jenis penyakit sistemik atau trauma kecelakaan, ada kemungkinan dengan prognosa yang tidak bisa dipastikan kesembuhannya.

Kemudahan Dokter Asing. Dimana pada draft RUU Omnibuslaw Kesehatan pada pasal 234 ayat 4, memberikan peluang bagi Warga Negara Asing untuk berpraktek di Indonesia.

Tanpa ada kontrol dari institusi yang melakukan pengawasan dan kontrol dari organisasi profesi dan kolegium. Hal ini berimbas pada kemungkinan masuknya dokter yang komptensinya meragukan, bahkan mungkin bisa abal abal. Kondisi ini bisa membahayakan masyarakat kita.

“Kekhawatiran kami didasari pada beberapa kasus yang ditemukan oleh kolegium spesialis , ada oknum yang hanya melaksanakan kursus di luar negeri tetapi kemudian ingin disahkan sebagai spesialis,” terangnya.

Dalam draft RUU Omnibuslaw Kesehatan tersebut tidak lagi tertulis/eksplisit nama PDGI dalam batang tubuh RUU, namun hanya terdapat pada penjelasan RUU.

Hal ini dikhawatirkan berpotensi berdirinya organisasi sempalan yang akan memecah belah organisasi. Padahal sejatinya organisasi profesi tidak dapat terbagi pada beberapa organisasi, sebab bisa menimbulkan tafsir berbeda terhadap standar kompetensi dan kode etik dari dokter maupun dokter gigi.

Pelaksanaan Pendidikan Dokter gigi dan dokter gigi spesialis pada Rumah Sakit (Hospital Base). Pemikiran tentang pendidikan dokter/ dokter gigi dan spesialis yang berbasis pada rumah sakit sebagaimana yang terdapat pada pasal 180, tidak bisa menjawab persoalan kekurangan dokter, sebab kekurangan dokter maupun dokter gigi dipicu pada beberapa faktor :

“Serapan dokter gigi menjadi Aparatur Sipil Negara hanya 14 persen dari jumlah dokter gigi seluruh Indonesia. Ini menyebabkan dokter gigi swasta memiliki hak untuk memilih tempat berpraktek pada daerah yang telah dipilih,” bebernya.

Juga, fasilitas pada rumah sakit maupun fasilitas layanan kesehatan pemerintah terlihat tidak memenuhi standar dengan fasilitas yang masih sangat kurang sehingga tidak dapat bekerja dengan baik dan menyebabkan beberapa dokter gigi spesialis tidak dapat bekerja maksimal pada rumahsakitnya.

Tak hanya itu, akreditasi rumahsakit yang menghasilkan kelasifikasi dan tipe Rumah sakit yang berkonsekuensi pada jenis kebutuhan dokter per tipe rumah sakit menyebabkan beberapa dokter spesialis tidak dapat kembali ke daerahnya karena rumah sakit tersebut tidak membutuhkannya.

Penyederhanaan Birokrasi. Poin ini dinilai merugikan. Bahwa munculnya pemberitaan terkait bahwa organisasi profesi menghambat produksi maupun sebaran dokter gigi.

Sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab pada kenyataannya jumlah dokter gigi yang menjadi aparatur sipil negara hanya berkisar 14 # dari total sekitar 45.000 dokter gigi yang tersedia, ditambah kurangnya fasilitas pada Rumah sakit maupun Puskesmas yang ada, sehingga terdapat banyak kasus penolakan terhadap dokter gigi untuk bekerja pada daerah, bukan oleh organisasi Profesi.

Dengan beberapa poin diatas maka dengan ini kami PDGI Wilayah Sulawesi Selatan dan Barat terhadap RUU Omnibuslaw Kesehatan menyatakan sikap :

1. Menolak RUU OMNIBUSLAW KESEHATAN disahkan menjadi Undang Undang.

2. Diperlukan diskusi dan masukan yang panjang dari para stake holder termasuk PDGI dan organisasi Profesi lainnya untuk rancangan undang undang ini agar lebih baik dan paripurna.

3. Mengajukan aspirasi ini ke ketua PB PDGI untuk diperjuangkan dengan sebaik baiknya.

4. Jika aspirasi ini tidak dindahkan maka kami PDGI SULSELBAR siap akan melakukan aksi dan gugatan hukum terkait RUU ini.