‘Kebebalan Pemimpin’

oleh -240 views
oleh

Oleh: Prof. Aminuddin Ilmar

Dalam tulisan yang lain saya tuliskan judul pemimpin bebal yang berarti pemimpin yang tidak mau melihat dengan nyata apa yang terjadi di masyarakatnya dan tidak mau pula mendengar berbagai masukan yang diberikan kepadanya. Benar apa yang dinyatakan dalam sebuah bait lagu, bahwa punya mata tapi tak melihat dan punya telinga tapi tak mendengar. Itulah gambaran seperti apa konsep pemimpin bebal itu. Ada kekerasan hati dan pikiran yang dimiliki sehingga tidak mau melihat kenyataan seperti apa yang terjadi sebenarnya di tengah masyarakat dan tidak mau mendengar berbagai saran dan pandangan yang dimajukan kepadanya, namun tetap saja bersikukuh dalam melaksanakan apa yang menurut akal pikirannya sudah tepat tapi sesungguhnya keliru sama sekali.

Berbeda dengan kebebalan pemimpin yang saya tulis ini sepertinya sebuah karakter kepemimpinan yang melekat pada diri seseorang yang begitu yakin akan kemampuan yang dimilikinya. Padahal, secara pikiran sederhana tidak ada orang yang mampu memahami dan menguasai segalanya. Selalu ada limitasi atau keterbatasan yang dimiliki entah itu soal pengetahuan dan wawasan serta informasi. Olehnya, sebagai seorang pemimpin yang amanah dan bijak tidak seharusnya bersikap bebal serta mau melihat kenyataan maupun mendengar apa yang menjadi keluhan rakyatnya. Sensitivitas menjadi alarm utama bagi seorang pemimpin sehingga dia mengetahui betul apa yang dirasakan oleh rakyatnya seperti apa keinginan dan kebutuhannya.

Kebebalan seorang pemimpin
akan sangat membahayakan bagi rakyat, oleh karena pada akhirnya dia akan menjadi sombong dan angkuh dalam melaksanakan apa yang diamanahkan oleh rakyatnya untuk dijalankan atau dilakukan. Karakter yang begitu percaya diri sehingga memandang enteng dan remeh terhadap persoalan yang dihadapi juga menjadi salah satu hal yang sulit untuk dihindari. Akhirnya, yang dilakukan semacam uji coba atau “trial and error” saja kalaupun ada kesalahan yang terjadi maka aparatnyalah yang harus menanggung beban kesalahan itu. Bahasa kaum milenial terlalu mudah “ngeles dan kepo” terhadap apa yang dipersoalkan oleh rakyatnya.

Singkat kata, kita tidak bisa berharap banyak terhadap kebebalan pemimpin yang pada akhirnya akan sangat membahayakan jalannya proses kepemrintahan yang baik dan benar. Dalam melihat sisi kebaikan dari seorang pemimpin yang bebal terhadap setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan atau dijalankannya maka sepertinya akan lebih melihat pada proses pencitraan diri semata, apakah tindakan atau perbuatan itu memberikan manfaat pribadi, keluarga atau kelompok dan bukan pada kepentingan dan kebutuhan seluruh rakyat. Untuk mengakhiri agar kebebalan pemimpin tidak berlanjut maka harus ada upaya mendasar yang harus dilakukan dengan tidak memberikan kesempatan sedikitpun juga untuk bisa kembali melanjutkan kepemimpinannya.