UU Kesehatan Disahkan, Ketum IDI Pertanyakan Komitmen Negara

oleh -75 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS – RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan tetap disahkan menjadi Undang-Undang meskipun diprotes oleh berbagai organisasi profesi dan masyarakat sipil.

Dilansir Ig. narasinewsroom, dihapuskannya mandatory spending atau wajib belanja untuk kesehatan. Padahal sebelumnya, UU Kesehatan Tahun 2009 mengharuskan 5% APBN dan 10% APBD dipergunakan khusus untuk kesehatan.

Budi Gunadi selaku Menkes (Menteri Kesehatan) mengaku bahwa penghapusan didasari karena mandatory spending diduga hanya membuang-buang uang dan tidak memliki fungsi yang jelas.

Sedangkan Adib Khumaidi selaku Ketua Umum IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan hal sebaliknya, bahwa mandatory spending adalah hal yang penting. Karena hal tersebut membuktikan sebesar apa komitmen negara untuk kesehatan.

“Mandatory spending itu adalah komitmen negara kepada rakyat. Kalau umpamanya kuantitas tidak disebutkan, persentase sekian persen tidak disebutkan, dan hanya mengatakan bahwa cukup dengan target driven budgeting, maka komitmen itu tidak menjadi sebuah kepastian hukum”, ucap Adib Khumaidi, dilansir Ig. narasinewsroom, pada Jumat (14/7/2023) malam.

Adib juga menapik pernyataan Menkes bahwa mandatory spending hanya menghambur-hamburkan uang saja. Ia juga mengeluhkan kalau pembagian dana 5% untuk kesehatan itu kurang.

“Jadi, bukan kalau dikatakan komitmen ini malah menghambur-hamburkan uang, salah. 5% di APBN itu sangat kurang, kita lebih kecil dibandingkan negara yang lain”, keluhnya.

Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwa mandatory spending perlu dicantumkan agar masyarakat melihat kepedulian negara di bidang kesehatan. Ia juga menapik bahwa mandatory spending tidak diperuntukkan untuk program kerja saja.

“Jadi, nominal dan kuantitas itu harus disampaikan sebagai tanggung jawab negara. Ini komitmen negara kepada rakyat terkait bidang kesehatan. Kalau kemudian sekarang tidak disebutkan mandatory spending, ini bukan kaitannya dengan program kerja seperti kaitannya kami membuat proposal, bukan. Ini adalah komitmen”, tegasnya.

Bahkan, Diah Satyani, CEO Center for Indonesia’s Strategic and Development Initiative (CISDI), menyampaikan hal yang senada dengan Adib. Bahwa penghapusan tersebut justru akan menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan.

“Mandatory spending penting banget untuk ngurangin ketimpangan kesehatan. Penghapusan mandatory spending malah menjauhkan akses masyarakat ke layanan kesehatan. Soalnya, selama ini, kuantitas dan kualitas alokasi anggaran kesehatan dinilai kurang. Nah, apalagi kalau sekarang batas minimalnya dihapus”, pungkas Diah.