Tolak Penggusuran Lahan Pertanian Warga di Enrekang, AMPU Gelar Unjuk Rasa di Kementrian BUMN dan Kementrian LHK

oleh -175 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS –  Tolak penggusuran lahan warga Kab. Enrekang Sul-Sel dalam rangka pembukaan lahan PTPN XIV

Konflik agraria adalah manifestasi terjadinya praktek perampasan tanah (land
grabbing) di atas tanah dikelolah dan ditempati masyarakat selama bertahun-tahun.

Konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah. Penyelesaian atas kasus tersebut belum optimal, salah satu penyebabnya karena belum adanya mekanisme penyelesaian konflik agraria yang ideal.

Konflik yang terkait dengan pemanfaatan fungsi tanah antara masyarakat dengan perusahan yang mengembangkan usahanya disektor perkebunan dan kehutanan di Indonesia menjadi sejarah kelam yang panjang dalam hubungan antara masyarakat khususnya kaum petani dengan kalangan industri pemilik Hak Guna Usaha (HGU).

Ketersediaan sumber alamiah seperti tanah, hutan dan sungai dengan segala fungsinya dalam sistem sosial-ekonomi masyarakat agraris berfungsi sebagai urat nadi kehidupan bagi yang berada dikampung-kampung diseluruh pelosok Indonesia kaum petani.

Kekayaan sumber ekonomi alamiah ini tidak saja memiliki nilai ekonomis sebagai jaminan keberlangsungan kehidupan masyarakat agraris yang hidup di kampung-kampung, tetapi juga punya makna dan nilai budaya dan religius (kearifan lokal) bagi masyarakat yang menjadikannya sebagai sumber kehidupan.

Namun sayangnya Negara yang semestinya hadir untuk memberi jaminan akan keberlangsungan kehidupan bermasyarakat itu ternyata hingga saat ini belum mampu menjalankan tujuan dan fungsinya sebagai suatu Negara, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam alinea ke
empat yang menyatakan. “Membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum,” di perjelas dalam pasal 33 UUD ayat 3 “Bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Realitanya regulasi sakral tersebut hanya manis di tulisan, berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi.

Negara yang seharusnya menjalankan fungsinya untuk mengatur mekanisme
pengelolaan dan penguasaan terhadap tanah, hutan dan sungai serta segala potensi yang terkandung didalamnya sebagai sumber daya alam yang berkorelasi langsung dengan keberlangsungan kehidupan masyarakat di kampung-kampung diseluruh pelosok ibu pertiwi ini dengan model system social-ekonomi dan politik agraris. Namun sayangnya, kebijakan Negara dibidang Industrialisasi sektor perkebunan dan kehutanan di Indonesia bercorak “kapitalistik” ditengarai menjadi akar persoalan munculnya fenomena konfik agraria antara masyarakat dan perusahaan yang memiliki HGU dibanyak kawasan di Indonesia.

Fenomena ini menjadi indikasi kegagalan Negara dalam mengelola, mengatur dan mendistribusikan secara adil potensi sumber daya alam karunia tuhan yang melimpah ditengah-tengah masyarakat, hingga akhirnya menjadi akar penyebab terjadinya berbagai rentetan konflik disektor agraria yang hampir terjadi diseluruh provinsi dan kabupaten di Indonesia.

Komunikasi dan sosialisasi yang sangat minim dengan pemilik lahan juga merupakan faktor yang menimbulkan konflik. Upaya untuk mencegah terjadinya konflik dalam penggusuran lahan ini semestinya bisa dilakukan, diantaranya dengan komunikasi dan sosialisasi kegiatan perusahaan dalam bidang agrobisnis, penggantian ganti rugi yang layak, membangun mufakat dan membangun partisipasi masyarakat serta relokasi yang
layak.

Namun demikian, dengan alasan kecepatan pengelolaan lahan yang segera, maka seringkali masyarakat menjadi korban dari penggusuran lahan atau perampasan tanah akhir-akhir ini di Kec. Maiwa dan Cendana di Kabupaten Enrekang Sulawesi-Selatan telah terjadi konflik Agraria antara masyarakat lokal dengan perusahaan perkebunan milik negara (BUMN) dalam hal ini PTPN XIV. Konflik yang terjadi karena lahan serta tanaman ratusan petani lokal telah digusur dan dirampas menggunakan alat berat oleh salah satu perusahaan milik negara (PTPN XIV) dalam rangka pembukaan lahan untuk mengelolah perkebunan sawit.

Penggusuran tersebut dilakukan sejak tahun 2016 berlanjut hingga hari ini, pada hal masa kontrak perusahaan tersebut berakhir pada tahun 2003. Ditengah situasi yang makin memanas, yang seharusnya pemerintah Kabupaten Enrekang hadir untuk memberikan solusi dan menyelamatkan masyarakatnya, malah menyetujui bahkan mengeluarkan rekomendasi kepada PTPN XIV untuk mengelolah lahan seluas 3.267 Ha, yang mana sebagian dari lahan tersebut masih dikelola oleh warga lokal. Aktivitas penggusuran tersebut sangat merugikan masyarakat lokal, mata pencaharian serta tempat tinggal mereka mereka hilang dugusur dan di rampas oleh PTPN XIV. Berangkat dari kronologi di atas kami yg tergabung dari berbagai macam organisasi/lembaga yakni AMPU, PB IKAMI SULSEL, IKAMI SS Cab. DKI Jakarta, BAKORNAS LEPPAMI PB HMI, PP GA-PLH dan JMHI menyatakan sikap dan menuntut :

1. Membatalkan dan mencabut surat rekomendasi pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV Nomor: 424/2867/SETDA/2020 Tertanggal 15 September 2020
2. Menghentikan aktivitas pembukaan lahan PTPN XIV
3. Memberikan ganti rugi terhadap tanaman dan ternak yang digusur dan dirusak selama berlangsung aktivitas PTPN XIV
4. Mendesak kementerian BUMN Dan Kementerian ATR/BPN untuk tidak
melanjutkan pembaharuan HGU PTPN yang telah berakir
5. Mendesak Menteri BUMN Untuk mengevaluasi bahkan memecat Direksi PTPN XIV
6. Mendesak Kementerian LHK agar tidak mengeluarkan persetujuan lingkungan untuk mencegah kerusakan lingkungan
7. Mendesak KPK RI Untuk segera panggil dan periksa Bupati Enrekang atas dugaan
“main mata” dengan pihak PTPN XIV Terkait surat rekomendasi pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV
8. Mendesak Kepala Kepolisian RI Bpk. Listyo Sigit Prabowo agar mengintruksikan
kepada Kapolda Sul-Sel untuk segera menarik aparat Brimob dari perusahan dan
lahan yang digusur PTPN XIV
9. Mendesak Kepala Kepolisian RI Bpk. Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi
bahkan memecat bawahannya yang di duga melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat yang berkonflik dengan PTPN XIV. (*)