Petani Harus Tunjukkan KTP Saat Rapat di DPRD Enrekang

oleh -251 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS – Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Massenrempulu (AMPU) mendatangi kantor DPRD Enrekang, Jumat (23/9/2022). Warga hadir dalam rangka mengikuti rapat terkait konflik agraria yang dipimpin langsung Ketua DPRD Enrekang, Idris Sadik dan dihadiri Asisten I dan II beserta jajarannya mewakili Bupati Enrekang.

Namun sebelum dimulai rapat, terjadi perdebatan antara perwakilan massa dengan pihak DPRD Enrekang. Pasalnya, syarat menunjukkan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebelum memasuki ruangan rapat, ditolak warga. *Tidak usa masuk rapat kalau harus tunjukkan KTP,” spontan teriak Rahmawati Karim salah satu perwakilan AMPU yang juga akan ikut rapat.

Beruntung, saat perwakilan massa, Rahmawati Karim mengajak meninggalkan ruang rapat, tiba-tiba Wakil Ketua DPRD Enrekang, Ikrar Eran Batu dan Chaerul Tahir anggota DPRD Partai Bulan Bintang (PBB) langsung menghampiri massa menyuruh masuk tanpa menggunakan KTP. Sehingga perwakilan AMPU kembali memasuki ruangan rapat.

Konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Enrekang sejak tahun 2016, hingga saat ini masih berlanjut. Bahkan dampak konflik ini telah meluas ke Kecamatan Cendana yang sebelumnya hanya di Kecamatan Maiwa. Hal ini disampaikan Rahmawati Karim salah satu juru bicara AMPU, seusai mengikuti rapat di DPRD Enrekang.

Kondisi ini terjadi kata dia lagi, setelah pemerintah Kabupaten Enrekang menyetujui dan memberikan rekomendasi untuk pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV seluas ± 3.267 Ha. Rekomendasi yang dikeluarkan Bupati Enrekang Nomor: 424/2867/SETDA/2020 tertanggal 15 September 2020 untuk pengembangan tanaman sawit.

Ketua AMPU Andi Zulfikar yang dikonfirnasi terpisah menambahkan jika penggusuran besar-besaran yang terjadi sejak minggu kedua Desember 2021 yang lalu, tidak hanya menghabisi tanaman produktif warga tapi juga menggusur tanaman hingga ke halaman rumah. “Warga saat ini tidak hanya kehilangan sumber ekonomi di lahan garapannya. Termasuk kehilangan kolam ikan, dan ternak sapi mati tidak wajar,” jelasnya.

Bahkan kerusakan lingkungan telah terjadi di wilayah pembukaan lahan sawit. “Penggusuran lahan garapan warga sudah berdampak pada kerusakan lingkungan. Sumber kehidupan warga dari air di salah satu sungai sudah rusak,” ungkap dia lagi.

Andi Zulfikar juga menjelaskan jika pihak PTPN XIV telah berakhir Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 2003. Bahkan, PTPN XIV belum memiliki Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sebelumnya mengelola ternak lalu tapioka, kini beralih ke sawit. “Apalagi dokumen Persetujuan Lingkungan juga belum dikantongi PTPN XIV”, tutup Andi Zulfikar.

Tujuh tuntutan AMPU diantaranya;
1. DPRD Enrekang agar menggunakan fungsi pengawasan atas kebijakan yang telah berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan mahkluk hidup lainnya dengan cara memanggil Bupati Enrekang;

2. DPRD Enrekang agar membatalkan surat rekomendasi pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV  Nomor: 424/2867/SETDA/2020 tertanggal 15 September 2020 yang dikeluarkan Bupati Enrekang;

3. DPRD Enrekang agar menghentikan aktivitas pembukaan lahan PTPN XIV yang selama ini tidak memberikan kontribusi kepada Pemkab Enrekang  dan masyarakat  setempat;

4. DPRD Enrekang agar memberikan perlindungan dan jaminan atas aktivitas hak-hak rakyat diatas lahan garapannya dan mengusulkan lokasi tersebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria;

5. DPRD Enrekang agar memberikan perlindungan dan jaminan hidup kepada petani/peternak yang lahan pertanian dan ternak mereka dihancurkan pihak PTPN XIV;

6. DPRD Enrekang agar mendesak pemerintah dan PTPN XIV segera memberikan ganti rugi terhadap tanaman digusur dan ternak yang mati tidak wajar selama berlangsung aktivitas PTPN XIV;

7. DPRD Enrekang agar menindaklanjuti pembentukan tim inventarisasi sesuai dengan hasil rekomendasi di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.