Meski Terbata-bata Berbahasa Indonesia, Warga Polombangkeng Ingin BPN Tidak Perpanjang HGU PTPN XIV Takalar

oleh -18 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS – Kisruh lahan perkebunan di Kec. Polombangkeng Utara, Kab. Takalar, Prov. Sulsel, masih berlanjut.

Terbaru, puluhan massa aksi dari Aliansi PRI (Protes Rakyat Indonesia) Sulsel melakukan demonstrasi guna mengkampanyekan konflik lahan antar warga Polombangkeng dan PTPN XIV Takalar.

‘Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV Takalar, Kembalikan Tanah Rakyat Polombangkeng’ menjadi tajuk utama Aliansi saat membetangkan spanduk tuntutan aspirasi di Depan Kanwil (Kantor Wilayah) BPN (Badan Pertanahan Nasional) Prov. Sulsel.

Ijul, salah satu massa aksi, menuturkan bahwa demonstrasi ini merupakan bentuk dukungan terhadap warga Polombangkeng.

“Aksi ini adalah salah satu bentuk dukungan kepada warga di Polombangkeng yang telah berpuluh tahun berjuang untuk merebut kembali tahanya yang dirampas oleh PTPN XIV Takalar,” ucap Ijul yang juga Ketua FMN (Front Mahasiswa Nasional) Makassar.

Aksi Aliansi PRI Sulsel di Depan Kanwil BPN Prov. Sulsel.

Secara rinci, Ia menjelaskan bahwa Aliansi menuntut kepada BPN Prov. Sulsel untuk tidak memperpanjang HGU (Hak Guna Usaha) kepada PTPN XIV Takalar.

“Saat ini telah memasuki masa akhir HGU PTPN XIV. Bahkan dari keseluruhan HGU, sebanyak 2.219,2 ha telah berakhir masa HGUnya sejak 23 Maret 2023 & sisanya 4562,95 ha akan berakhir pada 9 Juli 2024. Kami meminta kepada BPN untuk tidak memberikan perpanjangan HGU PTPN XIV sebelum adanya upaya penyelesaian konflik yaitu dengan cara mengeluarkan tanah-tanah warga dari klaim HGU PTPN XIV,” jelas Ijul.

Diketahui dalam aksi tersebut, salah satu warga Polombangkeng berinisial CE juga ikut menyuarakan keresahannya. CE merupakan seorang kakek yang masih berupaya mengembalikan tanahnya yang telah dikontrak selama 25 tahun sejak 1982.

“Katanya 25 tahun mau na kontrak, tapi sampai sekarang tidak kembali-kembali pi. 2023 pi katanya baru habis,” tutur CE dengan terbata-bata berbahasa Indonesia.

Selain itu, Ia juga menjelaskan bagaimana proses pemaksaan yang dilakukan waktu lahan warga hendak dikontrak.

“Dulu itu dipaksa ki untuk kasih kontrak tanah ta. Yang tidak mau itu diancam mau dipukul bahkan ditahan. Jadi takut-takut ki,” tambahnya. (*)