Membaca Feith, DN Aidit dan Pancasila

oleh -166 views
oleh

UPDATESULSEL-  Memelajari pemikiran politik Indonesia tak lepas dari figur Indonesianis asal Australia, Herbert Feith. Sosok sederhana ini, yang ketika ke kampus Monash University lebih memilih mengayuh sepeda dari tempat tinggalnya berjarak 15 kilometer. Fachry Ali, salah seorang muridnya, menyaksikan, hanya ketika ada kawan-kawannya datang dari berbagai pelosok dunia ia menggunakan mobil —untuk tujuan membantu transportasi.

Anekdot tentang Kiai Abdurrahman Wahid ketika mengikuti konferensi di Monash University, di Melbourne, menolak naik mobil tua bersama Herbert Feith. Dalam perjalanan ke bukit Dandenong, Gus Dur lebih memilih berkendara bersama Fachry Ali. Meskipun Fachry Ali pun merasa yunior kurang enak bersama para senior itu. ‘Saya naik mobil Fachry saja. Biar yang lain ikut Herb — panggilan akrab Herbert Feith,” kata Gus Dur.

Kawan-kawan sesama mahasiswa Fachri Ali yang kebetulan naik bersama Feith sempat ketar-ketir. Khawatir. “Dalam menyetir Pak Herb suka nengok ke belakang untuk menjawab pertanyaan mereka yang duduk di belakang. Padahal, jalan bukit Dandenong sedang menanjak dan berliku,” kata mereka.

Maka Fachri bertanya kepada Gus Dur: ”Itu sebabnya Cak Dur tidak mau naik mobil Pak Herb?” Gus Dur pun tertawa ngakak. ”Bukan hanya itu,” sambungnya. “Beberapa tahun lalu saya ikut mobil dia. Masuk ke mobil harus lewat jendela. Soalnya pintu mobil tidak bisa dibuka.”

Anekdot tentang Gus Dur ini segera mengingatkan saya akan pembagian pemikiran politik di Indonesia menjadi golongan empat besar di kalangan santri. Dalam perpolitikan di negeri ini terdapat empat golongan, dengan mengaitkan identitas santri-sembahyang dan abangan tanpa sembahyang.

Pertama, golongan orang-orang pintar, rasionalis dan Islam yang menjalankan sembahyang diwakili orang-orang Masyumi.

Kedua, golongan Islam lengkap dengan menjalankan sembahyang tapi tidak terlalu pintar, itulah golongan orang NU.

Ketiga, golongan orang-orang pintar, rasional tapi tidak sembahyang, itulah orang-orang PSI.

Keempat, golongan orang-orang tidak terlalu pintar, proletar, tapi juga tidak sembahyang, itulah orang-orang Marhenis diwalili PNI.

Tentu saja, tak usah menganggap pembagian golongan seperti sebagai hal serius, karena memang lelucon sekaligus otokritik bagi kehidupan kita bersama, khususnya kalangan santri. Apalagi, lelucon zaman Orde Baru yang jelas anti-komunis.

Dalam aksi reaksi pun kini kita menyaksikan kelucuan. Betapa peserta unjuk rasa “bela Pancasila” terdiri atas simpatisan partai politik yang menolak asas tunggal Pancasila dan elemen lainnya yang mengusung ideologi khilafah. Bila demikian, rasanya kok mirip ketika DN Aidit, gempong PKI dalam menyikapi Pancasila.

Membaca sejarah kita pun tahu, Aidit lebih sering menekankan pernyataan Sukarno bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu. Pada 1964, PKI juga menerbitkan buku berjudul “Aidit Membela Pantja Sila.”

Solichin Salam, seorang jurnalis berkesempatan mewawancarai DN Aidit, ketua CC PKI, untuk mengorek pandangan Aidit mengenai agama dan Pancasila (Majalah Pembina, 12 Agustus 1964).  Aidit menjelaskan, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu). Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan…” Demikianlah Aidit.

Seusai pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 29 September 1955, Aidit menyampaikan pidato di hadapan sidang politbiro pada 8 November 1955. Pidato yang kemudian dikenal dengan “Pertahankan Republik Proklamasi 1945!”. Pada kesempatan itu, Aidit mengkritik Masyumi, yang “memobilisasi ayat-ayat Qur’an dan menjanjikan surga bagi para pemilihnya. Mereka lebih memilih menawarkan program yang abstrak ketimbang sesuatu yang konkret untuk perbaikan ekonomi rakyat”. Karenanya, PKI, kata Aidit, “…akan terus berjuang agar agama dan perbedaan agama tidak digunakan untuk mempertajam pertentangan dikalangan rakyat dan menarik keuntungan dari pertentangn yang tajam itu.”

Pandangan kaum komunis memang tidak terdapat dalam buku Herbert Feith (bersama Lance Castles) dalam “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965” dalam edisi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1995).  Namun, jelas para penulis mengklasifikasikan aliran pemikiran partai politik menjadi lima aliran: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme.

Kita tahu, pada awal kemerdekaan, orang Indonesia umumnya berpendapat bahwa hanya ada tiga aliran politik — Nasionalisme, Islam dan Marxisme — yang menjadi tiga rumpun ideologi utama yang menaungi seluruh organisasi politik yang ada di Indonesia. Pengelompokan partai berdasarkan tiga aliran politik itu, adalah partai agama (partai Protestan, partai Katolik serta partai Islam Masjumi). Kedua, partai-partai Marxis dalam kategori ini mencakup Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mewakili tradisi sosialisme demokratis, serta Partai Murba. Kelompok partai nasionalis mencakup PNI yang nasionalis-radikal dan Partai Indonesia Raya (PIR).

Faktanya, dalam Pemilu 1955 ada empat partai dengan ideologi jelas menonjol: PNI, NU, Masyumi dan PKI. Bila ditilik dari sini, jelas banyak orang beranggapan: ideologi Indonesia terbagi menjadi empat. Akhirnya, terdapat dua aliran pemikiran terpenting: Tradisionalisme Jawa dan Sosialisme Demokratis. Kedua aliran ini tak terlalu terpancar dalam salah satu dari keempat partai utama itu, meskipun masing-masing masih mendapat pengaruh dari aliran pemikiran politik Tradisionalis Jawa dan Sosialisme Demokratis.

Mari membaca kembali lima aliran dalam Pemikiran Politik Indonesia 1955-1965.

1. Nasionalisme Radikal

Nasionalisme Radikal muncul sebagai respon terhadap kolonialisme, mencakup pada semua aliran, baik Komunisme, Tradisionalisme Jawa, Sosialisme Demokrat dan Islam. Nasionalisme Radikal memiliki faktor yang dapat digunakan sebagai pemersatu rakyat dengan alasan aliran tersebut secara tidak langsung telah terikat dengan masing-masing aliran dan tidak memiliki aliran yang bersebrangan, seperti yang terdapat pada aliran komunis dan aliran Islam. Aliran ini berpusat pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

2. Tradisionalisme Jawa

Penganut tradisi-tradisi Jawa. Pemunculan aliran ini agak controversial karena aliran ini tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang konkret, melainkan sangat memengaruhi cara pandang para pemimpin partai yang menganut aliran lain. Memang benar tidak ada satu pun organisasi massa muncul untuk mendukung ide-ide ini. Hanya organisasi PIR (Partai Indonesia Raya), yang paling dekat mencerminkan ide-ide dari aliran Tradisional Jawa.

3. Islam

Aliran pemikiran Islam terbagi menjadi dua kelompok saling bertentangan: Masjumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Masjumi merupakan kelompok reformis, aktif berpolitik, mencakup aliran modernis maupun fundamentalis. Masyumi lebih terpengaruh dengan aliran pemikiran Sosialis Demokratis. Sedangkan NU, kelompok tradisional dan konservatif (dan bersifat lebih Jawa). Lebih terpengaruh dengan aliran pemikiran politik Tradisionalisme Jawa.

4. Sosialisme Demokratis

Aliran Sosialis Demokratis mengambil inspirasi dari pemikiran Barat. Tetapi aliran ini kurang berhasil dalam usaha menempatkan diri di kalangan massa. Meskipun kurang suara dalam Pemilu 1955, tak bisa disangkal Sosialisme Demokratis pun andil besar dalam pembentukan partai-partai yang beraliran lain, seperti Masjumi dan PNI. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI).

5. Komunisme

Komunis mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, sekalipun mereka menggunakan imbauan-imbauan Abangan tradisional dan yang sejenis. Mengacu pada teori Clifford Greetz mengenai stratifikasi sosial berdasarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa.

Disimpulkan, setiap aliran bersinggungan dengan aliran lainnya. Komunisme bersinggungan dengan aliran pemikiran Tradisonalis Jawa walaupun hanya sedikit. Sangatlah bersebrangan dengan aliran pemikiran Islam, Masjumi.  Aliran ini muncul dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Akhirul kalam

Memang, pengelompokan Feith ini irelevan dengan kondisi Indonesia kini. Benarkah? Tapi setidaknya dari pemetaan seperti itu, kita mudah melihat yang terjadi saat ini. Saat ketika sekelompok orang mempersoalkan kembali Pancasila, di gedung wakil rakyat di Senayan. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi kontroversi, dan sekelompok penentang pun turun ke jalan.

Saya hanya terkesan menggemuruhkan debat ideologi di Konstituante hasil Pemilu 1955. Perdebatan itu akan cukup mengesankan bila terjadi lagi kini, tapi tak lagi membicangkan ideologi. Melainkan, membicangkan bagaimana masyarakat yang baik (khairu ummah) dalam pandangan masing-masing kelompok, untuk menatap masa depan kita bersama.

Apalagi, saat ini kita menghadapi masa pandemic Covid-19, lalu bagaimana langkah kita menghadapi Peradaban Baru setelah itu? Perdebatan seperti itulah yang bisa diperankan pula di kalangan wakil rakyat, seiring polemik di kalangan intelektual soal sains, teknologi dan kemanusiaan.

Lha, bila yang diperdebatkan di DPR masih soal ideologi, bukankah kita kembali ke masa silam dengan pola yang beda? Cukuplah kita membaca sejarah, sehingga kita memproyeksikan gagasan ke depan untuk kemaslahatan kehidupan kita. Memperdebatkan masalah politik kesejahteraan dan keadaban masyarakat, itulah relevansi problematika kita sekarang.

Demikian, lain kali dilanjutkan ya! Wallahu a’lam.