Langgar Kesepakatan di DPRD Sulsel, Aktivitas PTPN XIV tak Bisa Dihentikan

oleh -383 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS – Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 Wita, Ahad, 30 Januari, jalur menuju kampung Botto Dengeng, kiri-kanan, tampak gersang, pohon-pohon yang tadinya rimbun, bertumbangan.

Termasuk bantuan bibit pohon mahoni yang sudah tumbuh besar, rata dengan tanah. Padahal, itu bantuan dari Pemkab Enrekang melalui para kelompok tani di tanah Massenrempulu.

Pohon mahoni, hanya satu dari contoh tanaman warga di dusun Mila yang diluluhlantakkan oleh excavator PTPN XIV. Ratusan petani gigit jari, pasalnya meskipun sudah ada kesepakatan saat RDP di DPRD Sulsel beberapa waktu lalu, untuk tidak melakukan aktivitas di atas lahan eks HGU PTPN, namun apa lacur, kesepakatan ini dianggap angin lalu. Buktinya, penggusuran berjalan terus, padahal sudah ada tim yang dipercaya oleh DPRD provinsi untuk melakukan inventarisir lahan kebun dan rumah warga.

Budi bukan nama sebenarnya, hanya pasrah melihat tanamannya dilindas excavator. “Kalau ada yang mengatakan tidak ada penggusuran, maka harus turun lapangan langsung. “Jangan hanya berbicara di balik meja,” kata Budi yang meminta namanya dirahasiakan, karena ia sadar jika melawan penguasa, dan PTPN, beresiko.

Budi, tak punya lagi tanaman, merica, rambutan, langsat, durian, pohon aren, pohon mahoni, jagung, semua telah hancur di atas lahan eks HGU PTPN XIV.

Karmin tertunduk lesu, pria paruh baya itu tak berdaya menyaksikan lahan kebunnya diporak porandakan oleh excavator. Matanya berkaca-kaca, ia tak tega melihat tanaman yang selama ini dirawatnya dengan tekun, dan menggantungkan harapan untuk ekonomi keluarganya, harus berakhir di bawah excavator milik PTPN XIV.

Budi, Karmin, dan tetangga kebunnya, Hamzah juga mengalami nasib yang sama, tak berdaya membendung excavator—-hanya untuk menunggu masa panen tiba, PTPN XIV tidak bisa kompromi.

Apa yang dialami Karmin, dan Hamzah, juga dialami puluhan, bahkan ratusan petani penggarap lahan eks HGU PTPN di atas lahan seluas 3.267 Ha.

“Mereka kehilangan tempat tinggal, dan lahan mata pencaharian, hari ini kami menyaksikan bukan hanya tanaman dan rumahnya yang dilindas excavator, tetapi juga pihak PTPN XIV telah mengubur mimpi dan masa depan anak-anak petani,” ujar Jusman AR.

Karmin, dan Hamzah serta ribuan lainnya mengalami nasib terlunta-lunta. Mereka tidak tahu dimana letak peran pemerintah setempat. Pengaduan kepada kepala desa, kantor lurah, dan kantor kecamatan, tidak menghasilkan apa-apa.

Terlebih di kantor bupati, mereka hanya menemukan kekecewaan. Sebab, bupati sekarang, mendua. Dulunya menolak PTPN XIV karena HGU sudah  kadaluarsa, tetiba terbit rekomendasi pembaruan HGU terhadap PTPN XIV.

Benar-benar menggugah nurani, pengaduan kepada anggota DPRD kabupaten Enrekang juga tidak membuahkan apa-apa. Padahal, sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa kali.

Kini, harapan para korban penggusuran lahan dan pemukiman di atas lahan transmigran dan sekitarnya bertumpu pada para anggota legislatif di tingkat provinsi. Pekan lalu, korban dan beberapa perwakilan dan tokoh-tokoh masyarakat yang bersimpati mengikuti RDP pertama di kantor DPRD Sulsel.

Salah satu point dari hasil RDP itu, bahwa PTPN dilarang beraktivitas, apalagi menggusur warga setempat, dan pihak DPRD Sulsel membentuk Pansus (Panitia Khusus) untuk kasus ini.

Tapi, point kesepakatan itu tinggallah point yang menghasilkan puing-puing dan bekas tanaman yang rata dengan tanah yang basah. “Pihak PTPN XIV mengabaikan kesepakatan. Artinya, PTPN XIV melecehkan keputusan anggota dewan yang terhormat, terutama yang hadir saat RDP pertama,” kesal perwakilan kepada media ini.

HGU PTPN XIV Kadaluarsa

Lahan eks HGU PTPN di kabupaten Enrekang sudah 9 tahun kadaluarsa alias berakhir sejak tahun 2003. Dengan berakhirnya masa berlaku HGU tahun 2003, pakar hukum menilai PTPN XIV tak punya hak lagi atas tanah seluas 3.267 Ha. “Mereka harus patuh, dan tunduk kepada hukum yang berlaku, karena PP No. 40 Tahun 1996 sudah mengatur dengan jelas soal HGU,” tegas Abdul Azis, SH.

Ia mengatakan, lahan itu statusnya sekarang adalah tanah tak bertuan, siapa saja boleh menggarap karena namanya tak bertuan. Ia menyayangkan tindakan pihak PTPN yang dinilai semena-mena merusak lahan kebun dan rumah warga, dan kecewa terhadap aparat keamanan yang dinilai berlebihan dan arogan di lapangan.

Kondisi yang kian memprihatinkan ini mengundang simpati dari berbagai kalangan, salah satunya dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (LSM PILHI). “LSM PILHI tidak akan tinggal diam menyaksikan kedzoliman,” ujar Syamsir Anchi, pendiri LSM PILHI.

Ia melanjutkan akan melakukan advokasi, dan pendampingan terhadap warga korban penggusuran lahan kebun, dan rumah di kabupaten Enrekang, hingga tuntas. (*)