Genosida di Enrekang Berbalut Pembangunan, Bupati Terlibat?

oleh -760 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS –  Innalilahi wainnailaihi rooji’uun. Selamat jalan ibu Maja (70 tahun), lebih tepat disebut nenek atau oma. Ia telah berkalang tanah. Syok melihat lahan tanamannya dilindas excavator, nenek Maja meninggal di lokasi lahan perusakan tanamannya dusun Botto Dengeng Batu Mila, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, pekan lalu

Nek Maja adalah satu dari ribuan orang yang harus gigit jari akibat diduga dipaksakan pembukaan lahan oleh PTPN XIV untuk tanaman kelapa sawit, sejak tahun 2016 sampai sekarang, padahal struktur tanah di Enrekang tidak cocok dengan peruntukan kelapa sawit.

Seorang peneliti mahasiswa S2 program pasca sarjana jurusan pertanian di Unhas bernama Muh Ilham mengatakan, tanah di Enrekang tidak cocok dengan tanaman kelapa sawit. “Tanah di Enrekang tidak cocok dengan budidaya tanaman kelapa sawit,” ujarnya.

Ia melanjutkan, bahwa struktur tanah di Enrekang, bukan aluvial, latasol, dan organosol. Padahal, kata Ilham, syarat utama untuk budidaya kelapa sawit struktur tanah harus masuk diantara ketiga jenis tanah yang disebutkan di atas.

Tanah yang cocok untuk tanaman kelapa sawit adalah tanah yang datar, dan permukaan yang tebal. Sedangkan umumnya tanah di Enrekang adalah tanah yang tidak datar alias berbukit-bukit.

Berdasarkan hasil penelusuran media ini, kebanyakan lahan kebun warga yang digusur adalah tanah berbukit dengan kemiringan 30 – 60 derajat. Namun, karena diduga terdesak dari PTPN pusat yang menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), PTPN XIV tetap ngotot membuka lahan.

Akibatnya, PTPN XIV diduga kuat terus melakukan perusakan tanaman yang merambah sampai ke depan rumah warga di Maiwa dan Cendana. Meskipun ada moratorium dari hasil RDP DPRD Sulsel, namun tidak diindahkan oleh PTPN XIV.

PTPN XIV malah makin menjadi-jadi, setelah mendapat ‘lampu hijau’ dari bupati Enrekang, Muslimin Bando. Terbitnya surat rekomendasi tertanggal 15 September 2020 lalu, seolah PTPN mendapat angin segar, betapa tidak, selangkah lagi perusahaan plat merah ini akan mendapat perpanjangan, dan pembaruan HGU dari kementerian ATR/BPN.

Akan tetapi, menurut Muhtar, tidak semudah itu mendapat pembaruan dan perpanjangan HGU. Perlu proses panjang, apalagi kata Muhtar, HGU BMT sudah lama berakhir, yakni tahun 2003 lalu. semestinya kementerian ATR/BPN tidak menerbitkan HGU terhadap PTPN XIV, karena terkendala aturan.

Selain itu, kata Muhtar di lahan eks HGU BMT itu sedang terjadi konflik agraria antara warga yang memanfaatkan lahan tidur dengan PTPN XIV, sehingga sulit dan mustahil terbit HGU PTPN XIV. Ia berharap bapak bupati Enrekang mengayomi semua warganya. Melindungi dari genosida, pembunuhan massal secara pelan-pelan

Menurutnya, dengan merusak tanaman warga adalah sama dengan melakukan pembunuhan secara massif, oleh karena itu, Muhtar berharap bupati Enrekang bisa mencegah atau menghentikan genosida.

Akan tetapi, diduga bupati Muslimin Bando tak peduli sama sekali dengan kondisi warga yang tergusur lahan tanamannya. “Pancasila telah mati di Enrekang,” kata aktivis LSM Pemantau Keuangan Negara ini. Dimana sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ? Ibarat kata pepatah, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, sekeras apa pun protes, dan bahkan tercatat sudah 5 kali aksi turun ke jalan memprotes genosida, namun PTPN tak bergeming.

Terlebih bupati Enrekang, diduga kuat terlibat dalam genosida warganya sendiri. Menurut, Ridwan Wawan Poernama, praktisi jurnalis yang vokal menyoroti borok pemerintahan Muslimin di Enrekang, tanah seluas 3.267 Ha itu sebenarnya PTPN, dan bupati Enrekang tidak memiliki hak untuk mengambil alih lahan garapan warga yang sudah berkali-kali ditelantarkan. Nanti mereka menggarap setelah muncul proyek baru

“Kenapa bupati Enrekang mengelola lahan di atas konflik ?”, apakah ini bentuk ‘deal’ antara Pemkab Enrekang dengan PTPN ? Memang sebuah surat tertanggal 02 Juni 2016 mendarat di kantor PTPN XIV dengan bunyi inti peringatan terhadap aktivitas PTPN XIV. Terlepas dari itu, kini bupati Enrekang diduga mengelola lahan di Maiwa, dan mempekerjakan warga dengan gaji tidak cukup untuk membeli makanan, dan perawatan kucing persia.

Menurut Ketua cabang LSM PKN Enrekang, Bababanti yang mengalahkan bupati di MA soal keterbukaan informasi, di Pemkab Enrekang tahun lalu, pihaknya menelisik peralihan dan pelepasan dari eks HGU Bina Mulia Ternak (BMT) yang dikelola sejak tahun 1973 kepada PTPN XIV. “Benar, ndak ini ? Kapan, dan dilakukan dimana ?” Tanya Bababanti.

Lebih lanjut, saat ini AMPU bersama tokoh-tokoh masyarakat sedang melakukan pendataan lahan tanaman warga di beberapa lokasi antara lain Karrang, Pakodi, Batu Mila, kampung Duri, dan Cendana sebagai bentuk antisipatif melengkapi pelaporan di Polda Sulselbar, Senin, pekan lalu. “Kami sudah melaporkan dugaan pidanannya di Mapolda Sulselbar, Senin lalu,” kata Koordinator AMPU, Andi Zulfikar.

Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan beberapa LSM dan koalisi LSM untuk menggugat di PTUN, karena banyak celah hukum yang diduga dilanggar. Salah satunya LSM PILHI yang siap memback up langkah AMPU.

Sementara sala satu pendiri AMPU, Ridwan Wawan Poernama mengatakan perjuangan tetap akan dilakukan, meskipun sudah banyak tawaran, iming-iming, dan benturan di lapangan, baginya itu semua bumbu-bumbu perjuangan.

“Apa yang terjadi di Enrekang, lebih dari sekedar konflik agraria, banyak kasus yang saling terkait, misal dugaan pejabat yang menguasai lokasi eks HGU BMT, dan kroni-kroninya, berpotensi merugikan negara, karena lahan diduga dikuasai secara pribadi, sementara status tanah adalah tanah negara. Sehingga, AMPU telah melakukan pelaporan di KPK. Data-data sudah kami kirim ke KPK, dan Komisi VI DPR RI. Kami juga minta diback up oleh teman-teman jaringan LSM yang ada di Jakarta,” jelas, Ridwan Wawan Poernama. (*)