Dugaan Inspektorat Lutra Rangkap Jadi Kepala ULP disoroti, Langgar Asas Netralitas Pengambilan keputusan?

oleh -921 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS-  Secara berturut turut dua orang pimpinan Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Luwu Utara mundur. Namun Inspektur Daerah Luwu Utara ditunjuk merangkap menjadi Kepala ULP.

Hal ini dituliskan salah satu tokoh Luwu Utara, Luthfi A. Mutty .

“Begitu cerita yg saya dengar di warkop. Jika cerita itu benar, ini tentu aneh. Karena ULP salah satu unit kerja pemda yang “menggiurkan”.  Lantas ditunjuklah Inspektur Daerah Luwu Utara merangkap menjadi Kepala ULP. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin dianggap biasa. Tetapi bagi yg paham mengenai ULP sebagai episentrum korupsi di daerah dan inspektorat sebagai garda terdepan utk mencegah terjadinya praktek culas dlm pengadaan barang dan jasa, maka rangkap jabatan dari dua lembaga ini, bukan saja aneh, melainkan malapetaka,” kata Opu LAM sebutan Luthfi A. Mutty.

“Apalagi perturan dengan tegas menyebutkan bahwa personel yang bertugas di UKPBJ dan unit pelaksana teknis pengadaan barang/jasa, merupakan pegawai tetap di UKPBJ dan bukan pegawai yang bersifat adhoc dari unit kerja lain di luar UKPBJ.
Pendeknya, bagi yg masih memiliki sedikit saja nurani pemerintahan, penyatuan 2 institusi ini ke dalam 1 tangan sesungguhnya merupakan moral hazard. Kecuali jika penguasanya memang telah kehilangan nurani pemerintahan. Dan ketika penguasa telah kehilangan nurani pemerintahan maka disaat bersamaan dia telah kehilangan rasa malu. Itu artinya, pemerintah tdk lagi hadir sebagai rahmat, melainkan menjadi malapetaka bagi rakyat,” tegas Opu LAM.

Tanggapan DPRD Beberapa Kasus Rangkap Jabatan Inspektorat

Soal rangkap jabatan inspektorat dilansir dari media Surabaya, Kepala Inspektorat Kota Surabaya yang seharusnya sesuai fungsi kerjanya dalam hal pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, saat ini malah diberi SK sebagai pejabat Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Surabaya. Perkara ini pun akhirnya mendapat perhatian khusus dari pimpinan komisa A DPRD Kota Surabaya, Pertiwi Ayu Krishna. Menurutnya, hal seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi di dalam pemerintahan, apalagi di kota metropolitan seperti Surabaya ini.
“Bagaimana hingga terjadi rangkap jabatan,” ungkapnya Sabtu (25/9/2020).

Di Maluku Utara pun wakil ketua DPRD pernah menyoroti rangkap jabatan inspektorat.

Bagaimana Versi KASN

Dilansir dari rilis resmi KASN (09/7 2021) melalui portalnya https://www.kasn.go.id/id/publikasi/pns-rangkap-jabatan-melanggar-etika

Menjelaskan dalam ketentuan kepegawaian PNS, sebelumnya diatur mengenai rangkap jabatan dalam Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 menyatakan, Pejabat Fungsional (JF) dilarang rangkap jabatan dengan Jabatan Administrator (JA) dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Hal itu dikecualikan untuk JA atau JPT yang kompetensi dan bidang tugas jabatannya sama dan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi dan bidang tugas JF.

Namun,  setelah peraturan tersebut diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, ketentuan mengenai rangkap jabatan tidak lagi diatur. Hal itu kecuali jika tercantum dalam peraturan khusus masing-masing instansi yang ditempati oleh PNS.

Apabila seorang PNS terbukti melanggar ketentuan peraturan khusus dalam instansi, maka ia dinyatakan telah bertindak melanggar etika sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Bunyinya,  bahwa PNS memiliki etika dalam bernegara yang meliputi “menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas”.

Lalu bagaimana jika di kedua instansi PNS tersebut tidak memiliki aturan khusus mengenai rangkap jabatan?

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana seorang PNS memegang asas profesionalitas yang kemudian diterjemahkan ke dalam Nilai Dasar ASN yaitu “menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak”.

Dalam kondisi PNS rangkap jabatan, maka perlu dipertanyakan bagaimana konsistensi dirinya untuk tetap bersikap profesional. Bukan tidak mungkin akan terjadi Conflict of Interest (CoI) dalam menjalankan tugasnya, apalagi jika jabatan yang ditempati merupakan jabatan strategis dan memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Adanya CoI ini juga merupakan salah satu tindakan yang melanggar asas netralitas dalam pengambilan keputusan.

Dalam posisi inilah etika seorang PNS dipertanyakan dan perlu dipertanggungjawabkan, karena sudah selayaknya seorang PNS yang memiliki fungsi sebagai pelayan publik bersikap profesional dan netral. PNS yang terbukti tidak profesional dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya dapat dinyatakan melanggar kode etik dan tentu dapat dikatakan sebagai PNS yang tidak beretika.

Publik dapat turut menjadi agen pengawas dalam kepatuhan kode etik PNS tersebut.  Jika didapati PNS diduga melanggar kode etik, maka  dapat dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan/atau kepada inspektorat masing-masing instansi. Jika dugaan pelanggaran kode etik dimaksud terbukti, maka PNS tersebut selain dijatuhkan sanksi moral dapat dijatuhkan tindakan administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.  (*)