DPR Minta Pemerintah Tegas ke Pengusaha Asing Tak Miliki HPM

oleh -41 views
oleh

UPDATESULSEL.NEWS– Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto minta Satgas Pelaksana Harga Patokan Mineral (HPM) bentukan Menko Marinvest, Luhut Binsar Panjaitan, konsisten menegakan aturan Permen ESDM No.11 Tahun 2020.

Mulyanto minta Satgas berani menindak tegas pengusaha smelter asing yang tidak menggunakan HPM ketika bertransaksi dengan penambang lokal.

Hal ini penting dilakukan agar program hilirisasi nikel dapat tercapai.

Sebelumnya Pemerintah melalui Menteri ESDM, menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No. 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri No.7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.

Tujuan aturan ini dibuat agar antara pihak pembeli dan penambang memiliki patokan harga yang disepakati. Dengan demikian ketimpangan harga dapat dihindari.

Mulyanto minta Pemerintah konsisten menegakan isi aturan itu. Jangan sampai aturan hanya bagus dibaca tapi tidak dapat dilaksanakan.

Mulyanto mengaku, hingga saat ini masih menerima laporan adanya pengusaha smleter yang tidak menggunakan HPM sebagai acuan. Akibatnya pengusaha lokal merasa dirugikan.

“Ini adalah ketidakadilan yang kasat mata. Pemerintah harus bertindak tegas. Satgas yang dibentuk Menko Luhut Binsar Panjaitan, nyatanya juga belum memperlihatkan hasil yang nyata. Jangan sampai terkesan Pemerintah membela pengusaha smelter yang terutama berasal dari Cina serta mengabaikan nasib penambang lokal,” katanya dalam keterangan pers, Jumat (30/10/2020).

“Kalau mereka mogok menambang, maka suplai akan macet. Akhirnya yang akan rugi adalah kita semua,” ujar Mulyanto.

Untuk itu, ia mendorong Pemerintah agar menindak tegas para pengusaha smelter yang tidak mematuhi peraturan menteri ESDM tentang HPM.

Pengabaian tersebut jelas merugikan para penambang nikel lokal karena terpaksa menerima harga jauh di bawah HPM.

“Belum lagi kondisi unfair dalam pengukuran kadar nikel, yang memunculkan perselisihan (dispute) antara pengusaha smelter dan penambang, yang berujung pada finalti yang merugikan penambang lokal tersebut,” imbuh Mulyanto.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini mengingatkan pengusaha smelter asing agar mengikuti aturan yang berlaku. Selama ini Pemerintah dinilai sudah sangat baik menyediakan berbagai fasilitas kemudahan usaha.

Dengan demikian sudah selayaknya pengusaha asing mematuhi peraturan yang dibuat Pemerintah, termasuk tentang HPM.

“Pengusaha asing jangan mau enaknya saja. Mereka harus mau berbagi dengan penambang lokal agar tercipta pemerataan kesejahteraan.

HPM ini ditetapkan untuk melindungi penambang lokal dan menjaga bisnis nikel berlangsung secara fair saling menguntungkan.

Untuk itulah konsistensi dan ketegasan sikap Pemerintah sangat ditunggu masyarakat. Sekarang batas tanggal 1 Oktober sudah lewat,” papar Mulyanto.

Untuk diketahui sebagai konsekuensi pelarangan ekspor bijih tambang, dalam rangka mengatur harga mineral dan bisnis domestik yang terbuka dan adil, Pemerintah menerbitkan Permen ESDM No.11/2020, yang merevisi permen ESDM No. 07/ 2017 untuk mengatur agar pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri tidak mematikan penambang nikel lokal, dengan menjamin harga patokan bawah dan harga patokan atas yang ditetapkan sedemikian rupa, sehingga baik penambang maupun pengusaha smelter memiliki keuntungan yang wajar.

Namun, dalam prakteknya beleid ini tidak diindahkan oleh para pengusaha smelter asing. Mereka tetap saja membeli bijih mineral nikel dengan harga di bawah HPM, sehingga merugikan para penambang lokal, dengan alasan harga nikel dunia sedang turun. Padahal HPM yang ditetapkan pemerintah direvisi setiap bulan untuk menyesuaikan dengan fluktuasi harga nikel internasional.

Kemenko Marinvest telah membentuk Satgas untuk mengawal penerapan HPM nikel ini. Namun belum terlihat hasil yang menggembirakan. Satgas memberi waktu hingga 1 oktober 2020, agar pengusaha smelter asing ini mengkonsolidasikan diri untuk menerapkan secara penuh Permen ESDM No. 11/2020.

Sementara itu, hasil riset menyebutkan, harga nikel kemungkinan akan terus mengalami kenaikan sebanding dengan penurunan jumlah persediaan komoditas tersebut serta kenaikan permintaan nikel dari Cina seiring pemulihan ekonominya. Di samping itu, sentimen stimulus fiskal Amerika Serikat juga akan berpengaruh bagi pergerakan harga komoditas ini.

Ditambah dengan meningkatnya popularitas mobil listrik, maka permintaan nikel secara global secara langsung akan ikut tergerek. Seperti diketahui, nikel adalah bahan baku baterai yang merupakan sumber tenaga mobil listrik yang handal, karena memiliki kapasitas penyimpanan daya yang tinggi. Bahkan dengan teknologi baterai lithium-ion, yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan nikel dalam baterai diprediksi akan semakin besar.

Kondisi ini sangat menguntungkan Indonesia sebagai negara produsen bijih nikel terbesar di dunia. Data tahun 2019 Kementerian ESDM, total produksi nikel dunia mencapai 2.668.000 ton Ni. Dari jumlah itu, sebanyak 800.000 ton Ni berasal dari Indonesia. Disusul Filipina dengan 420.000 ton Ni dan Rusia sebanyak 270.000 ton Ni. (Kiki)